Lagi Pageblug, Jangan Pertahankan Kengeyelan yang Hakiki
Sabtu, 2 Mei 2020 17:19 WIBBanyak contoh ke-ngeyel-an lain yang berpotensi membuat masa pandemi tidak segera berakhir dan malah membikin jadi berkepanjangan. Kalau telanjur positif lantaran ngeyel, banyak orang akan ikut repot. So, demi kebaikan bersama, ke-ngeyel-an hakiki semacam ini tidak perlu dipertahankan.
Bagi yang tidak terbiasa berdiam diri di rumah selama berminggu-minggu tanpa satu hari pun pergi keluar memang bisa bikin runyam hati. Bete, stres, bosan, kesal, entah apa lagi yang cocok untuk menggambarkan suasana hati.
Stay at home, memangnya mudah? Memang tidak, apa lagi bagi mereka yang suka bepergian--ke tempat kerja, ketemu teman dan klien, main ke galeri, belanja, atau aktif di kegiatan sosial, apapun kegiatan yang kita ikuti. Tapi, ketika stay at home jadi kebutuhan mendesak, genting, dan penting, tidak ada pilihan kecuali kita mematuhi aturan ini.
Tinggal di rumah sebenarnya bukan sekedar aturan kesehatan yang dibuat pemerintah tapi juga perlu kita pandang sebagai kesepakatan sosial di antara warga masyarakat. Tinggal di rumah mesti kita lihat sebagai kebutuhan vital bersama demi memulihkan kesehatan bersama. Dengan menjaga diri masing-masing berarti kita menjaga orang-orang terdekat maupun orang lain. Inilah kebajikan sosial yang sangat penting di saat pandemi khususnya.
Lantaran itu, kita tidak perlu ngeyel dengan memaksa keluar rumah. Kita perlu mengingat kembali apa tujuan tinggal di rumah dan apa risiko bila keluar rumah. Risiko bukan hanya berupa gangguan kesehatan fisik, tapi juga ketegangan mental. Yang tegang pun bukan hanya yang diisolasi, tapi juga yang menunggu di rumah--mungkin suami, istri, anak, atau orang tua. Begitu banyak bukan orang-orang dekat kita yang menunggu kita pulang dalam keadaan sehat? Jadi, jangan ngeyel mau pergi keluar rumah.
Bahkan, keluar rumah pun masih ngeyel tidak mau memakai masker sebagai perlindungan minimum. Alasannya, pakai masker jadi pengap, panas, bernapas tidak bebas. Padahal, kalau telanjur positif, pernapasan bukan hanya pengap tapi akan jauh lebih sesak. Alat bantu pernapasan dipakai terus-menerus, tinggal di bangsal sepi, hanya bisa berbaring di tempat tidur. Jauh lebih bete, mestinya.
Larangan mudik memang sudah dikeluarkan, tapi masih banyak juga orang yang berusaha mengakali dengan berbagai cara agar bisa mudik ataupun pulang kampung (istilah ini tak usah diperdebatkan lagi). Ada yang nebeng angkutan sayur, jalan kaki berkilometer hingga akhirnya pingsan, dan seterusnya. Risikonya tidak kecil: ketularan di tengah jalan saat bertemu orang-orang yang kita tidak tahu kondisi kesehatannya, lalu menulari kerabat, orang tua, atau eyang yang tinggal di rumah tujuan.
Lebaran bisa jadi malah tidak menyenangkan, tapi tambah sedih sebab kita terpaksa mengisolasi diri. Ngobrol dengan saudara pun jadi khawatir menulari. Apa enaknya? Dan sekarang larangan mudik mau dilonggarkan dengan pengecualian. Apa sih maunya?
Beribadah pun begitu. Mudah-mudahan Allah memberi ampunan bila kita tidak menunaikan ibadah secara berjamaah di masjid. Para alim sudah mengeluarkan fatwa bahwa dalam kondisi pandemi seperti sekarang, lebih baik beribadah di rumah ketimbang berjamaah di tempat ibadah yang menghimpun banyak orang. Risiko penularan tetap harus dihindari agar pandemi tidak berlarut-larut. Semakin kita patuh terhadap protokol kesehatan yang semestinya, mudah-mudahan semakin cepat pandemi berakhir, dan kita dapat segera kembali beribadah secara berjamaah.
Bagi para pembuat kebijakan pun begitu. Jika sudah membuat aturan agar pekerja tinggal di rumah, perusahaan diminta menghentikan sebagian besar kegiatan, rakyat tidak diperbolehkan beribadah bersama, warga tidak boleh mudik, ya konsistenlah dengan aturan yang dibuat sendiri. Jangan kemudian membuat pengecualian dengan memberi izin kepada tenaga kerja asing untuk masuk dan bekerja di wilayah kita padahal wabah belum berakhir. Ini sama saja dengan mengundang risiko baru. Keputusan semacam ini tidaklah adil dan berpotensi mengundang keresahan sosial yang tidak perlu selagi kita berjuang bersama-sama mengatasi wabah.
Banyak contoh ke-ngeyel-an lain yang berpotensi membuat masa pandemi tidak segera berakhir dan malah membikin jadi berkepanjangan. Kalau telanjur positif lantaran ngeyel, kita bisa apa? Tentu saja, siapapun berharap dapat segera pulih dan sehat kembali, tapi jika yang terjadi sebaliknya? Banyak orang akan ikut repot. Bukan hanya ekonomi yang jalan di tempat untuk waktu yang lebih lama, tapi juga pendidikan, pemerintahan, dan banyak lagi urusan lainnya. So, ke-ngeyel-an hakiki semacam ini tidak perlu dipertahankan demi kebaikan bersama. >>
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Hasil Survei Pilpres yang Ngeri-ngeri Sedap
Jumat, 29 Desember 2023 14:00 WIBDebat tentang Etika, Elite Politik Saling Mempermalukan
Kamis, 21 Desember 2023 12:31 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler